Apakah Boleh Makan Daging Kurban Sendiri?

  • 06 June 2022
  • Admin

Apakah Boleh Makan Daging Kurban Sendiri? Hari raya idul adha yang tinggal menghitung hari ini. Tentunya masyarakat sudah tidak sabar untuk menikmati daging kurban yang biasa didapatkan dari panitia kurban di masjid masing –masing yang berada disekitarnya.  Bagi shohibul qurban  disunnahkan untuk mengkonsumsinya. Dalam pelaksanaan qurban  terdapat sebagian hasil dari qurban yang dimakan sendiri dan tidak ada yang dibagikan kepada orang lain . Allah Berfirman di dalam alquran:

Artinya : “Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah mati, maka makanlah sebagiannya dan beri daging itu untuk orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta.” (QS. al-Hajj: 36)

Sesuai dengan isi ayat diatas , allah memberikan tiga pilihan dalam membagikan hewan qurban yaitu dikonsumsi sendiri, dibagikan kepada orang yang tidak mampu sebagai sedekah, membagikan kepada orang yang mampu sebagai hadiah.

Panduan yang sama  juga diberikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dengan sabdanya:

Makanlah, berikan kepada orang lain, dan silahkan simpan. (HR. Bukhari 5569 & Muslim 1973).

Apakah boleh daging qurban dimakan sendiri?

Kalau daging yang kita kurbankan kita makan sendiri untuk dirinya dan keluarganya , tidak ada yang diberikan kepada orang lain apakah ini diperbolehkan?  Dalam permasalahan ini ada dua pendapat dari kalangan ulama  yaitu

Pertama: wajib menyedekahkan sebagian hasil qurban.

Ini merupakan pendapat sebagian syafiiyah dan hambali. Bahkan mereka menyatakan, jika ada shohibul qurban yang makan semua hasil qurbannya bersama keluarganya, dan tidak ada yang disedekahkan, maka shohibul qurban wajib ganti rugi, dengan nilai minimal hasil qurban yang layak disedekahkan.

An-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ menyebutkan,

Apakah disyaratkan harus menyedekahkan sebagian dari hasil qurban, ataukah boleh dimakan sendiri semuanya? Ada 2 pendapat dalam madzhab Syafiiyah. Telah disebutkan oleh penulis al-Muhadzab dengan dalil masing-masing.

Pendapat pertama, boleh dimakan sendiri semuanya. Ini merupakan pendapat Ibnu Sarij, Ibnul Qais, al-Istikhori, Ibnul Wakil, bahkan Ibnul Qash mengatakan, ini merupakan pernyataan as-Syafii. Mereka mengatakan, jika ada orang yang makan semua hasil qurbannya, maka manfaat dari berkurban adalah mendapatkan pahala menyembelih hewan dalam rangka ibadah.

Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan pendapat kedua,

Pendapat kedua, ini merupakan pendapat mayoritas ulama syafi'iyah masa silam, dan inilah pendapat yang kuat menurut mayoritas penulis kitab madzhab, termasuk penulis kitab at-Tanbih, mereka menyatakan, bahwa wajib memberikan bagian dari hasil qurban yang layak untuk disebut sedekah. Karena tujuan qurban adalah beramal bagi orang miskin. Berdasarkan hal ini, jika shohibul qurban makan semuanya, wajib ganti rugi. Meskipun untuk adanya ganti rugi, ini menyimpang dari pendapat madzhab. Ada juga yang mengatakan, wajib ganti rugi senilai uang yang bisa disebut sedekah. (Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/416).

Kedua: Sedekah sebagian hasil qurban hukumnya dianjurkan dan tidak wajib.

Ini pendapat dari Hanafiyah. Dalam badai As-Shanai dinyatakan,

Dianjurkan untuk makan hewan qurbannya, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Makanlah sebagian hewan itu dan berikan sebagian kepada orang yang tidak mampu.” Dan diriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Apabila kalian menyembelih qurban, makanlah sebagian hasil qurbannya dan berikan sebagian kepada orang lain.” (Badai as-Shanai, 5/80)

Dan dilanjutkan lagi oleh beliau

Shohibul qurban boleh menghibahkan semua hasil qurban atau menyedekahkan semuanya. Jika disimpan semuanya untuk pribadi, juga boleh. Karena inti ibadah qurban adalah menyembelih. Sementara sedekah hasil qurban, statusnya anjuran. Dia boleh simpan untuk pribadi lebih dari 3 hari. Karena larangan menyimpan lebih dari 3 hari berlaku di awal islam, kemudian dinasakh. (Badai as-Shanai, 5/81).