Selama air sungai masih mutlak dan juga murni boleh untuk digunakan berwudhu tetapi jika air sungai tersebut sudah keluar dari kemutlakannya, tidak boleh lagi digunakan untukberwudhu. Air yang boleh dipergunakan untuk berwudhu (bersuci) merupakan air yang masih murni dan juga mutlak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih.”( QS. Al- Furqan ; 48)
Dan di dalam ayat lain juga disebutkan,
“dan allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. “ ( QS. Al-Anfal:11).
Pada hakikatnya , air yang berada di sungai yang sudah terlihat kotor yang disebabkan oleh pencemaran najis kotoran dan juga kecing atau terlihat berubah salah satu dari sifat air ( bau, rasa, warna) yang dikarenakan bercampur dengan najis , tidak bisa lagi untuk dipergunakan untuk bersuci atau berwudhu.
Kata Ibnul Mundzir sebagaimana dalam Al-Awsath, 1:260. Para ulama telah sepakat kalau saja air sedikit ataukah banyak, kalau sudah kemasukan najis dan berubah rasa, warna, atapun bau, air tersebut memiliki hukum Najis.
Hukum asal air adalah suci . Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci dan menyucikan , tak ada sesuatu pun yang dapat menajiskan.” ( Dikeluarkan oleh Imam tiga dan dinilai shaih oleh Ahmad) . [ HR. Abu Daud, No. 66; Tirmidzi, no 66; An-Nasai,1:174; Ahmad,17:190. Hadist ini shahih karena memiliki penguat atau syawahid . lihatMinhah AL-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram,1:29]
Faedah Hadist diatas:
- Hadits ini tentang sumur Budho’ah, yang tempatnya itu rendah sehingga kotoran seperti kain untuk pembalut darah haid pun masuk disitu.
- Hukum Asal air merupakan suci, bisa berubah dari kesucian jika diketahui najisnya.
Hukum Air kalau Bertemu Najis. Dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ánhu kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “ Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat mengubah bau , rasa atau warnanya.” ( Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim). [HR. Ibnu Majah no. 521; Ad-Daruquthni,1:28;Ath-Thabrani dalam Al-Kabir,8:123. Hadist ini dhaif. Lihat Al-Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram,1:32].