Hukum Bayar Fidyah Menurut Dalil Al Quran Dan Hadist

  • 25 May 2021
  • Admin

Fidyah merupakan memberi makan orang miskin . dimana fidyah dilakukan jika mereka yang sudah baligh dan kondisinya memang sudah  tidak mampu menjalankan ibadah puasa ramadhan.  Seperti yang disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wata’ala: yang artinya,

“ (yaitu ) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ( jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik, bagimu jika kamu mengetahui,”( QS. Al-Baqarah :184).
Berikut ketentuan hukumnya wajib untuk membayar fidyah jika tidak mampu dalam melaksanakan ibadah puasa ramadhan.

1.       Seseorang yang memiliki penyakit yang parah dan diperkirakan tidak  akan  sembuh dalam waktu dekat. Dikarenakan  tidak akan mungkin untuk meng qadha’ puasanya atau mengganti nya  pada hari yang lain.

2.        Seseorang yang sudah masuk dalam golongan orang tua yang sudah  pikun, dan sakit , dibolehkan untuk tidak menjalankan ibadah puasa ramadhan dan diwajibkan untuk membayar fidyah. Dan setelah membayar fidyah tidak ada kewajiban untuk mengqada’  dikarenakan ada kekhawatiran akan   jatuh sakit.

3.        Orang hamil  dan juga menyusui, untuk kondisi  ini ada perbedaan pendapat dari kalangan sahabat dalam memahami fidyah   untuk ibu hamil dan menyusui.  Adapun pendapat yang pertama   bahwa ibu hamil dan menyusui diperbolehkan tidak menjalankan ibadah puasa ramadhan dan menggantinya  hanya  cukup membayar fidyah.

“ Ibnu Abbas radhiallahu anha. Berkata kepada seorang ibu yang sedang mengandung: Engkau sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka kamu harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadanya.” Sanadnya dishahihkan oleh Ad-Daruquthni sebagaimana dikatakan oleh AL-Hafidz dalam kitab Talkbisul Habir.  Tetapi Dalil ini dianggap lemah dan tidak sesuai dengan ajaran agama.

Pendapat yang kedua dari Imam Syafi’I dan Imam Ahmad   kalau ibu hamil dan menyusui dibolehkan tidak berpuasa dan wajib juga membayar fidyah dan juga wajib mengqada’nya . kalau saja ia mengkhawatirkan anaknya maka ia harus mengqadha dan memberi makan orang miskin untuk setiap ia tidak melakukan puasa.

Dan pendapat yang ketiga ini  lebih kuat dikarenakan orang yang sakit parah dan juga tua renta diperkirakan tidak akan mungkin bisa menjalankan puasa lagi tetapi untuk wanita hamil dan menyusui bisa melakukan puasa kembali setelah selesai masa nifas dan menyusuinya. Seperti yang diriwayatkan oleh Nasa’I (2274) dari Anas radhiallahu ánhu dari
“Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya allah menggugurkan’bagi musafir separuh shalat dan puasa . Begitu pula bagi orang hamil dan menyusui. Dishahihkan oleh AL-Albani dalam Shahih Nasaí.

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan hukum wanita hamil dan ibu menyusui sama seperti seorang musafir . jadi kalau saja musafir membatalkan puasanya, kemudian wajib baginya menqadha, begitu pula wanita hamil dan menyusui.