Hukum Pedofilia dalam Islam

  • 29 September 2021
  • Admin

Hukum Pedofilia dalam Islam, Kejahatan seksual di Indonesia cukuplah memperhatikan, sebab seperti yang dikutip dari mui.or.id Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA) menyebutkan dari awal 2021 hingga September terjadi 11.419 kasus kekerasan pada anak.

Korban laki-laki berjumlah 2.444, dan korban perempuan mendominasi dengan 9.914 kasus. Sedangkan untuk Jenis kekerasan seksual berjumlah 4.551 kasus.

Islam sangat tegas menentang aksi pedofilia, gangguan seksual yang berupa nafsu seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun. Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Nurul Irfan, mengatakan, sanksi pelaku pedofilia menurut hukum Islam, masuk wilayah ta’zir. Karena persoalan ini bukan hanya zina, melainkan lebih dari itu.

Kiai Nurul menjelaskan sanksi ta’zir tidak bisa dianggap lebih ringan dari pada hudud. Karena yang menjadi korbannya adalah anak-anak dengan cara penyimpangan seksual, perilakunya jelas lebih parah dari sekadar zina.

Hal ini juga bisa dikaitkan dengan dalil liwath (perbuatan homoseks) mengenai sanksinya. Ini sebagaimana hadits riwayat dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Barang siapa yang Anda temui melakukan kejahatan umat Nabi Luth, maka bunuhlah yang melakukan maupun yang diperlakukan.”

Pedofilia dan praktik homoseks adalah kriminal paling keji dan menjijikkan. Dia pun menukilkan ucapan salah satu khalifah Dinasti Umayyah, Al Walid bin Abdul Malik:

إنه لولا أن الله تعالى ذكر قصة قوم لوط في كتابه العزيز لما تخيلت أن رجلاً يأتي رجلاً

“Sungguh, seandainya Allah SWT tidak menyebutkan kisah kaum Luth dalam kitabnya yang mulia (Alquran), saya tak bisa bayangkan lelaki akan bersetubuh dengan lelaki.”

Jika dianalogikan dengan hukum liwath, maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama sanksinya seperti zina, dirajam sebagaimana rajam untuk zina muhsan (zina yang pelakunya sudah berkeluarga). Jika masih lajang, dia dicambuk dan diasingkan.

Pendapat kedua, pelaku dan objeknya harus dibunuh. Ini merujuk hadits Ibnu Abbas di atas. Dengan syarat, hukum ini berlaku jika kedua-nya sama-sama suka, bukan paksaan di bawah ancaman. Sebagian ulama menyebut pendapat ini lah yang kuat.

Pendapat ketiga, diasingkan di tempat tinggi, seperti perbukitan atau gunung. Lalu dihujani dan dilempari batu. Ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas. Merujuk pada surat Al Hijr ayat 74:

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ

“Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.”