Seorang ayah mempunyai kewajiban untuk menafkahi anak-anaknya dan juga menjaga ,menuntun keluarga ke jalan yang benar dan lurus. Mengenai tugas ayah yang menafkahi keluarganya juga ditegaskan dalam alquran yang artinya:
“ dan Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang ma'ruf (patut)” ( QS. Al-Baqarah :233).
Maka dari itu nafkah anak bagi orang tua merupakan kewajiban yang dibebankan oleh syariat berdasarkan nilai kasih sayang. Maka dari itu kewajiban ini meski sejatinya dikhususkan bagai ayah, tetapi kewajiban memberikan nafkah menjadi gugur jika ibu dan orang lain terlebih dahulu memberikan kepada anak (tabarru’) keperluan dan kebutuhan sehari-harinya.
Terdapat dua batasan dalam keadaan anak terkait kewajiban nafkah dari orang tuanya, batasan pertama, usia , apakah anak sudah baligh atau belum . Batasan kedua , harta, apakah anak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya ataukah tidak memiliki harta , sehingga masih bergantung kepada orang lain.
Dari dua batasan yang telah dijelaskan diatas disini kita bisa membuat kelompok anak menjadi empat kategori yaitu
1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta
2. Anak yang belum baligh dan memiliki harta
3. Anak yang sudah baligh dan memiliki harta
4. Anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta
Dari keempat kelompok diatas masing-masing memiliki hukum yang berbeda terkait kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya. Berikut penjelasannya
Yang pertama: anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta
Dari keterangan Imam ibnul Mundzir ( ulama di Masjidil Haram w.319 H), para ulama sepengetahuan beliau – telah sepakat kalau nafkah anak yang belum baligh dan tidak mempunyai harta ditanggung oleh ayahnya. Ibnul Mundzir berkata.
“ ulama yang kamu ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil , yang tidak memiliki harta (Al-Mughni,8/171)
Yang Kedua dan Ketiga: Anak belum baligh atau sudah baligh yang memiliki harta.
Penjelasan dari As-Shan’ani mengatakan,
“ Jika mereka memiliki harta , maka tidak kewajiban nafkah atas ayahnya.” ( Subulus , salam , 2/325)
Yang keempat: anak sudah baligh yang tidak memiliki harta
Contoh nyata untuk model anak keempat adalah para pengangguran yang terselubung pada kalangan siswa SMP,SMA dan juga mahasiswa. Mayoritas mereka masih menggantungkan nafkahnya kepada orang tuanya.
Keadaan keempat ini dari kalangan ulama membagi dua yaitu
1. Anak perempuan, wajib dinafkahi ayahnya sampai dia menikah
2. Anak laki-laki, para ulama memiliki perbedaan pendapat , apakah anak laki-laki tersebut sudah baligh yang belum mempunyai harta dan pekerjaan, wajib dinafkahi ayahnya atau tidak.
Yang pertama : Berikut penjelasan Anak perempuan , wajib dinafkahi ayahnya sampai dia menikah.
Pendapat dari para ulama mayoritas kewajiban nafkah hanya sampai baligh untuk anak laki- laki dan untuk anak perempuan kewajibannya sampai menikah.
Di dalam subulus salam, As-shan’ani menjelaskan .
Sementara mayoritas ulama berpendapat, kalau kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anak nya sakit-sakitan. (Subulus salam, 2/235).
Yang kedua: Dan penjelasan yang bagian kedua ini , orang tua tetap memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anaknya yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, meskipun sudah baligh.
Di dalam Subulus Salam juga dinyatakan,
Ibnu Mundzir menyebutkan , para ulama berbeda pendapat tentang nafkah anak sudah baligh yang tidak memiliki harta dan pekerjaan . sebagian ulama berpendapat bahwa ayah wajib memberi nafkah untuk semua anaknya, baik belum baligh ataupun yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan . apabila mereka sudah tidak mempunyai harta yang mencukupi,sehingga tidak membutuhkan bantuan bapak / ayah. ( Subulus salam 2/325)