Menjadi Makhluk yang Disukai Allah untuk Meraih Sukses, Dalam menjalankan kehidupan di dunia, semua manusia pasti ingin merasakan kesuksesan. Manusia dianugerahi oleh Allah swt. naluri yang menjadikannya gemar memperoleh manfaat dan menghindari mudharat. Beribadah dan melakukan tugas sebagai khalifah adalah tujuan dari penciptaan manusia, sedangkan ibadah tidak dapat dilaksanakan dengan baik apabila kebutuhan manusia tidak terpenuhi. Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan duniawi merupakan sebuah kewajiban, akan tetapi untuk mencapai kesuksesan sendiri harus dilakukan secara bersamaan dengan kesuksesan di akhirat.
Kesuksesan dalam hidup tidak hanya diukur dari pencapaian kesuksesan di dunia saja, seperti gelar, karir dan lain sebagainya. Kesuksesan semata itu ketika apa yang diraih dapat memberikan keuntungan bagi orang banyak sehingga dengan kesuksesan tersebut kita dapat memperoleh pahala yang mengalir deras sehingga ketika akan menutup usia nanti kita berada di dalam keadaan husnul khatimah. Hal tersebut sangatlah penting untuk kita pahami agar umur yang diberikan oleh Allah kepada kita tidak akan terbuang secara percuma, yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Sifat dan Perilaku yang Disukai Allah
Dalam menjalankan hidup, sebagai manusia kita harus menjadikan Allah sebagai tujuan dengan senantiasa mengharap ridha-Nya dan menjadikan surga sebagai cita citanya yang demikian juga dengan kesuksesan yang harus diraih tidak hanya di atas dunia saja melainkan kesuksesan di akhirat harus didapatkan.
Al-Muhsinin
Kata al-muhsinin adalah bentuk jamak dari kata muhsin yang terambil dari kata ahsana-ihsana. Rasulullah saw. menjelaskan makna ihsan sebagai berikut:
“Engkau menyembah Allah, seakan-akan melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka yakinlah bahwa Dia melihatmu” (HR Muslim). Dengan demikian, perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif, seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya.
Al-Muttaqin
Takwa dapat diartikan sebagai perbuatan menghindari ancaman dan siksaan dari Allah swt. dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa selalu menuntun seseorang untuk senantiasa berhati-hati dalam berperilaku. Shihab (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan ketakwaan, Allah memberikan dua macam perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu perintah takwini dan perintah taklifi. Perintah takwini, yakni perintah Allah terhadap objek agar menjadi sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Ia biasa digambarkan oleh firman-Nya dengan “Kun fayakun”. Hal ini tercantum dalam beberapa dalil dalam al-Qur’an, antara lain QS. Fushshilat:11 dan QS. Al-Anbiya’:69. Kedua dalil tersebut menunjukkan betapa kuasa Allah atas apa pun yang Ia kehendaki akan terjadi dengan segera.
Kedua, perintah taklifi, yaitu perintah Allah terhadap makhluk yang dibebani tugas keagamaan (manusia dewasa dan jin) untuk melakukan hal-hal tertentu. Hal ini dapat berupa ibadah murni, seperti shalat, puasa, maupun aktivitas lainnya yang bukan berbentuk ibadah murni, seperti bekerja untuk mencari nafkah, menikah, dan lain-lain (Shihab, 2013). Dalam konteks berinteraksi dengan sesama manusia, terdapat sebuah pepatah terkenal, yaitu “Sebanyak Anda menerima, sebanyak itu pula hendaknya Anda memberi.” Namun demikian, Allah tidak menuntut hal tersebut. Allah, Sang Maha Pemurah menurunkan firman-Nya dalam QS. At-Taghabun:16 yang artinya
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”